pasokan gas murah
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan cadangan gas alam besar di Asia Tenggara. Namun ironisnya, pasokan gas murah yang seharusnya menopang pertumbuhan industri justru semakin sulit didapat. Kalangan industri kini menjerit karena suplai gas murah dari pemerintah tak mencukupi, sementara harga gas pasar tetap tinggi dan memberatkan biaya produksi.
Kondisi ini memperlihatkan paradoks klasik: negara kaya sumber daya energi, tetapi industrinya kekurangan bahan bakar murah untuk bertahan. Pertanyaan besar pun muncul — mengapa gas yang melimpah di bumi nusantara tidak bisa dinikmati dengan harga wajar oleh pelaku industri dalam negeri?

Industri Teriak, Pasokan Gas Murah Tak Cukup
Keluhan datang dari berbagai sektor industri, mulai dari pupuk, kaca, petrokimia, hingga logam dasar. Mereka menilai bahwa kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) yang ditetapkan pemerintah tidak lagi efektif karena kuota pasokan terbatas.
Dari kebutuhan gas industri yang mencapai jutaan MMBTU per bulan, realisasi pasokan HGBT hanya mampu memenuhi sebagian kecil — dalam beberapa kasus bahkan kurang dari 60 persen dari kebutuhan aktual.
Sisanya, industri terpaksa membeli gas dengan harga pasar yang bisa dua kali lipat lebih mahal. Akibatnya, biaya produksi membengkak dan margin keuntungan tergerus. Dalam jangka panjang, hal ini berpotensi menurunkan daya saing produk lokal terhadap produk impor yang lebih murah.
Sejumlah asosiasi industri bahkan telah memperingatkan bahwa bila pasokan gas murah tidak segera diperbaiki, akan terjadi pengurangan kapasitas produksi dan potensi pemutusan hubungan kerja massal.
Mengapa Negeri Kaya Gas Kekurangan Gas?
Masalah utamanya bukan pada ketersediaan gas di bawah tanah, melainkan bagaimana gas itu disalurkan. Banyak lapangan gas di Indonesia masih berada di lokasi terpencil yang jauh dari jaringan pipa utama. Infrastruktur gas nasional belum mampu menghubungkan seluruh wilayah produksi dengan pusat-pusat industri di Jawa dan Sumatera.
Selain itu, beberapa lapangan gas besar seperti di Kalimantan Timur dan Natuna mengalami penurunan produksi alamiah. Beberapa insiden teknis seperti kebakaran pipa dan perawatan fasilitas juga memperburuk distribusi.
Sementara di sisi hilir, keterbatasan terminal regasifikasi dan lambatnya proyek pipa transmisi menyebabkan gangguan pasokan. Akibatnya, gas domestik melimpah di daerah tertentu, tetapi langka di wilayah industri padat seperti Jawa Barat dan Banten.
Situasi ini menggambarkan lemahnya konektivitas energi nasional — gas melimpah di sumber, tapi tersendat di saluran.
Dampak Ekonomi dari Seretnya Pasokan Gas
Keterbatasan pasokan gas murah berdampak langsung terhadap produktivitas industri. Perusahaan kimia dan kaca membutuhkan tekanan gas konstan untuk menjaga suhu tungku produksi. Saat tekanan turun, efisiensi berkurang dan kualitas produk bisa menurun.
Industri pupuk juga menghadapi dilema. Gas bukan hanya bahan bakar, tetapi juga bahan baku utama untuk memproduksi amonia. Jika pasokan terganggu, biaya produksi meningkat, dan harga pupuk berpotensi naik.
Pada level makro, kondisi ini memperlemah daya saing manufaktur Indonesia. Investor asing menjadi ragu menanamkan modal di sektor industri padat energi karena biaya produksi tak kompetitif.
Lebih jauh, bila tidak segera diatasi, krisis pasokan gas bisa memicu deindustrialisasi dini — di mana sektor manufaktur kehilangan momentum pertumbuhan dan bergeser menjadi negara konsumen energi tanpa nilai tambah besar.
Masalah Harga dan Kebijakan HGBT
Kebijakan HGBT sejatinya ditujukan untuk menekan harga gas bagi tujuh sektor industri prioritas: pupuk, petrokimia, baja, kaca, keramik, oleokimia, dan sarung tangan karet. Namun pelaksanaannya menghadapi banyak kendala.
Pertama, skema harga murah hanya berlaku untuk volume tertentu. Begitu kebutuhan industri melebihi kuota HGBT, mereka harus membeli gas tambahan dengan harga pasar bebas.
Kedua, proses distribusi masih terpusat di tangan BUMN dan belum efisien. Ketergantungan terhadap PT Perusahaan Gas Negara (PGN) sebagai penyalur utama membuat mekanisme pasar terbatas.
Ketiga, belum ada mekanisme pengawasan yang efektif untuk memastikan penyaluran HGBT tepat sasaran dan tidak bocor ke pihak yang tidak berhak.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka kebijakan harga gas murah hanya akan menjadi jargon tanpa efek nyata bagi pelaku industri.
Upaya Industri dan Pemerintah Mencari Solusi
Kalangan industri mengusulkan dua solusi besar: impor gas industri dan pembangunan infrastruktur baru.
Mereka mendorong pemerintah membuka ruang bagi pelaku usaha untuk mengimpor gas dengan harga kompetitif apabila pasokan domestik tidak cukup.
Namun, langkah ini menuai pro-kontra. Sebagian pihak menilai impor gas justru menyalahi semangat kemandirian energi nasional. Pemerintah di sisi lain sedang menyiapkan strategi jangka menengah berupa percepatan pembangunan jaringan pipa gas dan proyek LNG regasifikasi di beberapa wilayah strategis.
Selain itu, pemerintah juga berencana meninjau ulang alokasi gas dari lapangan hulu yang selama ini terlalu banyak diekspor. Dengan penyesuaian alokasi, sebagian produksi bisa dialihkan ke kebutuhan domestik industri.
Langkah-langkah tersebut menunjukkan bahwa pemerintah menyadari pentingnya pasokan gas murah sebagai bahan bakar pertumbuhan industri nasional.
Risiko Fiskal dan Dilema Kebijakan Energi
Meski upaya solusi terus dikejar, ada dilema lain yang muncul: bagaimana menjaga keseimbangan antara harga gas murah untuk industri dan penerimaan negara dari sektor migas.
Subsidi harga gas berarti potensi berkurangnya pendapatan negara. Di sisi lain, jika harga dibiarkan tinggi, industri menjerit. Pemerintah perlu menjaga keseimbangan agar kebijakan ini tidak menambah beban APBN sekaligus tidak mematikan sektor manufaktur.
Selain itu, tantangan transisi energi juga menuntut investasi besar. Pemerintah harus menyeimbangkan investasi antara infrastruktur gas dengan energi baru terbarukan. Jika tidak bijak, kebijakan gas murah bisa berbenturan dengan target energi bersih nasional.
Jalan Tengah: Efisiensi dan Transformasi
Solusi jangka panjang untuk krisis pasokan gas murah bukan hanya menambah suplai, tetapi juga meningkatkan efisiensi konsumsi energi industri.
Pemerintah bisa memberi insentif kepada industri yang menggunakan teknologi hemat energi atau beralih ke gas alternatif seperti biogas dan hidrogen biru.
Selain itu, digitalisasi sistem distribusi gas juga penting untuk memantau real-time pasokan dan mencegah kebocoran.
Kolaborasi antara BUMN energi, pemerintah daerah, dan swasta juga perlu diperkuat agar pembangunan jaringan pipa bisa lebih cepat. Dengan sistem yang terintegrasi, gas murah dapat disalurkan secara merata dan berkelanjutan.
Kesimpulan
Fenomena pasokan gas murah yang seret di negeri kaya gas menjadi cermin betapa kompleksnya persoalan energi di Indonesia. Di atas kertas, cadangan gas nasional berlimpah, namun di lapangan, infrastruktur dan kebijakan belum mampu menyalurkan manfaatnya secara merata.
Industri terus mendesak solusi konkret, sementara pemerintah berhadapan dengan dilema antara menjaga stabilitas fiskal dan memenuhi kebutuhan energi murah.
Jika kebijakan gas murah tidak segera dibenahi dari hulu hingga hilir, maka ironinya akan terus berulang: negeri kaya gas, tapi industri tetap terengah-engah mencari napas.
