tren IPO
Dailybusinesstalks.com, Indonesia – Dalam lima belas hingga dua puluh tahun terakhir, masyarakat Indonesia semakin menyadari potensi pasar modal. Namun jika kita tarik ke belakang hingga empat dekade — dari 1985 hingga 2025 — yang terjadi adalah perubahan yang jauh lebih besar: jumlah emiten yang melakukan penawaran umum perdana (IPO) di Bursa Efek Indonesia (BEI) meningkat, begitu pula jumlah investor ritel yang mencoba “masuk” ke pasar. Dengan kata lain: tren IPO bukan sekadar angka yang lebih tinggi — tapi representasi dari transformasi ekonomi, regulasi, dan digitalisasi pasar. Artikel ini mengulas bagaimana tren IPO di BEI selama periode 1985-2025 terbentuk, faktor pendorongnya, dampaknya kepada investor, dan apa yang dapat kita pelajari ke depan. neraka33
Evolusi Pasar Modal Indonesia: 1985-1995

Awal era modern pasar modal Indonesia bisa dikatakan berawal pada masa setelah liberalisasi ekonomi. Pada periode 1985-1995, BEI masih dalam proses pembangunan struktur pasar: perusahaan publik terbatas, regulasi belum seterbuka sekarang, dan investor ritel masih kecil. IDX+1 Banyak perusahaan besar melakukan pencatatan, namun skala listing dan partisipasi publik masih terbatas. Pada masa ini, IPO masih dianggap sebagai domain perusahaan mapan dan bukan alternatif utama bagi investor ritel.
Reformasi dan Krisis Asia: 1995-2005
Memasuki era reformasi ekonomi Indonesia dan dilanda krisis Asia 1997-1998, pasar modal mengalami guncangan hebat. Banyak emiten mengalami penurunan drastis, dan investor ritel menjadi sangat berhati-hati. Namun di lain sisi, krisis ini membuka peluang bagi perusahaan yang tahan banting untuk melakukan pemulihan dan listing baru. Regulasi mulai mengalami penyesuaian untuk meningkatkan transparansi. Dengan demikian, periode ini menandai fondasi bagi tren IPO yang lebih aktif di dekade berikutnya.
Digitalisasi dan Boom IPO: 2005-2015
Periode 2005 hingga 2015 menjadi salah satu titik loncatan. Teknologi digital, kemudahan akses investasi, serta pertumbuhan investor ritel mulai terasa. BEI dan otoritas terkait mendorong listing perusahaan teknologi, UMKM, dan sektor baru. Regulasi listing pun mulai disesuaikan, termasuk batasan free-float dan persyaratan listing yang lebih fleksibel. AEI+1 Akibatnya, jumlah emiten bertambah secara signifikan — dan investor ritel mulai melihat IPO sebagai salah satu jalur pertumbuhan modal.
Era Investor Ritel & IPO Massal: 2015-2025
Hingga 2023, BEI mencatat rekor dengan lebih dari 900 emiten terdaftar. IDN Financials Pada semester pertama 2025 saja, sebanyak 14 IPO berhasil menghimpun dana lebih dari Rp 7 triliun, naik 77 % dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. PwC Faktanya: semakin banyak perusahaan yang ingin go-public, semakin besar pula peluang bagi investor ritel untuk “ikut” sejak awal. Ini semakin mengokohkan konsep bahwa ketika emiten makin banyak → investor makin cuan, meskipun tentu bukan tanpa risiko.
Mengapa Emiten Makin Banyak?
Beberapa faktor pendorong utama:
- Regulasi yang makin mudah: Persyaratan listing dan free-float mulai disesuaikan sehingga lebih banyak perusahaan yang bisa IPO. AEI
- Dorongan digital & startup: Sektor teknologi dan digital yang tumbuh cepat mendorong IPO besar seperti unicorn Indonesia.
- Pertumbuhan investor ritel: Dengan aplikasi investasi dan edukasi pasar, lebih banyak orang menghadapi pasar saham — membuat listing menjadi lebih menarik.
- Kebutuhan pendanaan perusahaan: Untuk ekspansi atau inovasi, banyak perusahaan memilih IPO sebagai salah satu jalur pendanaan.
Kenapa Investor “Makin Cuan”?

Kalau kita lihat pemahaman sederhana: ketika perusahaan go-public, ada potensi pertumbuhan nilai saham sejak awal. Jika investor ritel bisa masuk lebih awal atau memilih IPO yang tepat, maka potensi keuntungan muncul. Tambahan faktor:
- Banyak pilihan emiten → diversifikasi lebih baik.
- Harga IPO sering menarik di awal listing (meskipun ada risiko under-pricing atau backlash).
- Partisipasi investor ritel yang lebih besar membuat likuiditas meningkat.
Namun penting dicatat: bukan semua IPO sukses. Risiko tetap ada.
Risiko yang Perlu Diketahui
- Kualitas emiten bervariasi: Banyak perusahaan kecil yang listing tetapi belum terbukti kinerjanya.
- Timing pasar: IPO di saat pasar lesu bisa jadi jebakan.
- Likuiditas rendah: Emiten baru kadang punya volume kecil sehingga volatilitas tinggi.
- Tidak semua investor cuan: Melewati pemilihan yang buruk bisa berakibat rugi.
Data & Trend Terbaru
Contoh terbaru: di H1 2025, 14 perusahaan IPO berhasil menghimpun dana Rp 7,004 miliar (≈US$ 427 juta) — naik signifikan dari periode yang sama tahun 2024. PwC Sementara itu, jumlah investor ritel dan total emiten di BEI juga terus naik. Ini memperkuat bahwa tren IPO di Indonesia masih bergerak ke arah lebih ekstensif dan lebih inklusif.
Implikasi untuk Investor & Masa Depan

Bagi investor ritel, ini artinya:
- Perlu memahami bahwa peluang makin banyak, tetapi analisis tetap kunci.
- Diversifikasi portofolio dengan menyertakan beberapa IPO bisa jadi strategi, namun jangan hanya ikut-ikutan hype.
- Perhatikan regulasi dan sektor pertumbuhan yang diprioritaskan (contoh: teknologi, energi bersih, UMKM).
- Untuk masa depan: jika tren ini terus berlanjut, maka pasar saham Indonesia bisa makin banyak “pintu masuk” baru untuk investor ritel.
Kesimpulan
Empat dekade sejak 1985 hingga 2025 menunjukkan bahwa tren IPO di BEI telah mengalami transformasi besar: dari pasar elitis menjadi pasar yang lebih terbuka dan digital. Jumlah emiten yang meningkat dan investor yang makin banyak adalah dua sisi dari satu koin yang sama — peluang. Namun seperti koin, ada dua sisi. Kemampuan memilih dengan tepat dan memahami risiko tetap menjadi pembeda antara cuan atau justru kerugian. Bagi investor cerdas, saatnya melihat bukan hanya “emiten makin banyak” tetapi “emiten yang layak” — dan tren ini bisa menjadi jalan besar menuju generasi investor baru di Indonesia.
